ArtikelGARUDASIANA

Teroris Versus Kita sebagai Oase Perdamaian

Oleh : Taufiq Fuadi

Lagi-lagi Citra Negatif Terhadap Islam

Bulan Ramadhan dan perayaan Iedul Fitri 1437 H tahun ini sedikit terganggu, kekhusukan dan kebahagiaan ummat Islam dicederai, musababnya terjadi peledakan bom di beberapa negara. pertama; peledakan bom di airport internasional di Turki, setelahnya berselang beberapa hari menjelang hari raya bom meledak di Arab Saudi di tiga titik salah satunya di kota suci Madinah, di tanah air peledakan bom bunuh diri dilakukan oleh seorang teroris di Solo. Semua rentetan diatas mengangetkan ummat Islam menjelang hari raya, pertanyaanya kemudian, siapa pelaku ini semua, Islam-kah, berlebaran-kah, juga mudik-kah mereka para kaum teroris dan kelompoknya?

Jawabnya, pelakunya adalah kelompok(Islam) radikal, pelabelan terhadap Islam sebagai teroris di medio 2000n kali ini cukup kencang. Namun, Tidak bisa begitu saja digeneralisasi sebagai keseluruhan atau representasi umat Islam, pelabelan Islam sebagai agama yang melahirkan teroris dimulai pada defining momentruntuhnya WTC, cap Islam teroris sudah menjadi label pada banyak pandangan pihak luar, padahal pada nyatanya pelaku teror dalam satu moment tidak bisa untuk menggenalisir Islam secara menyeluruh.

Presiden AS Obama menilai Media dan industri film Hollywood sering berpandangan negatif kepada Islam yang hanya bersumber pada satu kelompok, presiden ke-44 AS itu berpandangan masih banyak kalangan Islam moderat yang mendukung perdamaian, kemudian menyebut Muslim digambarkan dalam cara yang sempit oleh kedua bentuk industri tersebut media dan hollywod. (MetroTV 2013).

Teror dan budaya kekerasan (terorism) sudah pasti bukan budaya Islam, fundamentalism-radikalism-terorism hanya akan menimbulkan paradoks antara imagined city bercirikan good society yang semakin mengarah ke utopia dengan self destroying  society yang semakin menemukan bentuknya dalam masyarakat. Kekerasan dalam praktek ajaran radikalisme yang menjurus pada aksi teror, bisa muncul akibat terlembagakanya socio-cultural animosity.(Faisal Ismail 2014).

Fakta maraknya kelompok radikal Islam, dapat muncul dari sebagian kelompok kecil dalam Islam yang dapat dicirikan dengan watak puritan karena berusaha melakukan reformasi ajaran Islam secara rigid, militan, eksklusif dan radikal. Mengutamakan nahimungkar namun dengan cara-cara yang tidak manusiawi, Martin E. Marty mencirikan ajaran awal kaum radikal ditandai dengan 4 (empat) gejala pokok. Pertamaoppositionalisme (faham perlawanan). Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, dan keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis.

Ciri-ciri diatas kemudian diamini oleh keadaan, dimana globalisasi dipandang telah menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan ‘kebangkitan agama” (religious revivals). Dengan kata lain, kebangkitan agama sebagai bentuk respon lokal terhadap globalisasi, Ben Anderson mengutip perkataan Giddens, menyebutkan bahwasanya kebangkitan agama dimaksud sebagai bentuk fundamentalisme versus toleransi kosmopolitan. Memasuki millenium ke-3 atau abad 21 ini, peta tananan sosial-politik dunia internasional ditandai dengan menggeliatnya fenomena redikalisme agama. (Ben Anderson, imagined Communities 2008)

Mari, Bicara Data dan Fakta Fundamentalism, Radikalism, Terorism

Dalam konteks perbedaan antara radikalisme dan terorisme tentu saja berbeda, dalam alam demokrasi sejauh tak berujung pada aksi-aksi kekerasan, radikalisme adalah barang halal. Sedang aksi-aksi teror, yang di dalamnya ada unsur penggunaan kekerasan, dengan sendirinya jelas melawan hukum. Ajaran fundamentalism bisa menjangkit dan dianut masyarakat atau kelompok manapun,sementara radikalism bisa menular dengan nalar doktrin ajaran Islam yang ekslusif. Ada masyarakat-masyarakat yang radikal, tapi tidak ada masyarakat teroris,dan, aksi-aksi teroris mudah sekali tumbuh di dalam masyarakat-masyarakat yang radikal, di mana aksi-aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi juga dukungan.Ini yang bahaya.

Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 1.600-an siswa dan guru agama Islam di SMP dan SMA muslim di Jabodetabek, yang dilakukan dari Oktober 2010 hingga Januari 2011. Hasilnya, 41,8 hingga 63,8 persen responden menyatakan mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non-muslim. Ini memang data lama, namun harus kita akui kita belum memperbaiki sedikit apalagi banyak dari radikalnya pemikiran anak muda kita. Dimulai dari Fundamental sejak dalam pemikiran, radikal dalam keseharian, akan jadi teroris dalam suatu kesempatan.

Data ini mengangetkan dan juga teguran bagi kita semua, menurutpeneliti LIPI Anas Saidi; paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya. Anak-anak muda Indonesia makin radikal (BCC Indonesia 2014). Ini akan menjadi bom waktu bagi kita (masyarakat plural).

Teroris Versus Kita sebagai Oase Perdamaian.

Belas kasih kepada sesama adalah ujian spiritualitas sejati bagi ummat Islam pasca menuju kemenangan iedul fitrah

Rentetan peledakan bom di belahan dunia tentu mengangetkan kita semua, yang menjadi banyak sesak dada ummat Islam, dari beberapa pelaku teror selalu berlabel Islam. Entah kelompok dan ideologi yang manapun pelakunya, cara-cara dakwah dengan menggunakan kekerasan dengan sedikit dibumbui takbir, adalah sesat pikir. Islam yang rahmatal lil alamin mengajarkan kepada kita belas kasih, Islam yang penuh Rahman dan Rahim-Nya.

Komentar terhadap aksi teror bermacam-macam, tidak sedikit dari kita dengan sangat mudah mengatakan aksi ini-itu merupakan hasil ‘konspirasi’. Tanpa disadari sebelum kita memasukkan empati dalam pikiran kita masing-masing kepada korban yang berjatuhan, kita lebih dulu memfonis tanpa melakukan tabayyun dahulu. Siapa kira, banyak dari kita terjangkit ‘logical fallacies’; pendapat yang keliru secara logika dan digunakan dengan sengaja/untuk melumpuhkan pendapat logis orang lainya. Bisa jadi juga kita ummat Islam yang beraliran moderat tidak mampu menanggulangi pikiran-pikiran radikal atau kita takut untuk menandingi kaum Barat secara sehat. Argumen yang sedikit-dikit konspirasi, adalah tanda argumen bahwa kita tidak mampu melawan.

Damai dimulai dari pikiran kita, sesat pikir dari awal dengan membangun argumen ngawur akan membahayakan. Masyarakat Indonesia yang dikenal moderat, bisa menjadi moda bagi oase perdamaian hidup-menghidupkan dalam keseharianya. Pikiran moderat seperti ini jangan sampai tercemar oleh segelintir ajaran impor yang lebih banyak mempraktekkan kekerasan minus toleransi. Kalau diatas bicara data anak muda, dengan data cukup mencengangkan dengan tingkat intoleransi yang tinggi, penulis menyakini ini belum terlambat untuk diperbaiki.Anak muda dengan pikiran keras cenderung keilmuan tentang Islamnya pendek (tidak paham esensi agama). Perdamaian dimulai dari kita dan perdamaian lahir dari pikiran kita.Wallahua’lam bissawab.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional ISIP Universitas Muhammadiyah Malang dan Pengurus HMI Cabang Malang. Dept PAO. 2016-2017

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button