ArtikelEdukasiGARUDASIANA

Menganalisis Capaian Pendidikan Karakter Disetiap Perubahan Kurikulum Pendidikan Indonesia

Oleh : Ahmad Qosyim

Visi Pendidikan di Indonesia  “Mewujudkan Indonesia Berdaulat, Mandiri, Dan Maju Yang Berkepribadian Melalui Terciptanya Pelajar Pancasila Yang Bernalar Kritis, Kreatif, Mandiri, Beriman, Bertakwa Kepada Tuhan Yme, Dan Berakhlak Mulia, Bergotong Royong, Dan Berkebinekaan Global” (Permendikbud No. 22 Tahun 2020 tentang Renstra Kemendikbud 2020-2024)

Dari visi pendidikan Indonesia di atas, menunjukkan bahwa pembentukan karakter  bangsa, menjadi tujuan dari hasil pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa dan negara.

Landasan pentingnya Pendidikan Karakter ini juga mengacu pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3. Pada pasal 3 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada implementasinya, pendidikan karakter dapat berlangsung melalui Jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya dalam mengokohkan pendidikan karakter.

Kebhinnekaan dalam budaya, suku, agama dan corak kehidupan dipersatukan dalam kesatuan organis, harmonis, dinamis dengan nilai-nilai Pancasila. Filosofi Pendidikan Nasional Pancasila sebagai penerapan analisis filosofis Pancasila untuk menjawab masalah-masalah pendidikan nasional yang bersifat filosofis. Pendidikan nasional yang bersifat filosofis di dalamnya mengandung nilai-nilai Pancasila yang bersifat dinamis dan kontekstual, yakni:

  1. Nilai-nilai religius, yang didukung toleransi antar umat beragama dalam berpikir, merasa dan bertindak (Sila 1). Hal ini sangat penting dalam memajukan bangsa dan negara.
  2. Nilai-nilai Kemanusiaan (humanis), yang membingkai indah dan semaraknya interkoneksitas warga bangsa dan warga dunia dalam membangun kesejahteraan, harmoni dan perdamaian dunia (Sila ke-2).
  3. Nilai-nilai nasionalisme, yang terbingkai kemanusiaan yang harmonis dinamis, semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam ,menghadapi tantangan nasional dan global (Sila ke-3).
  4. Nilai-nilai demokratis, menjadikan warga bangsa merdeka dalam hidup dan kehidupannya, dengan memegang teguh rasa tanggung jawab (Sila ke-4).
  5. Nilai-nilai keadilan, sehingga dipenuhinya wajib dalam hubungan hidup, yaitu wajib terhadap diri sendiri, wajib terhadap sesama, wajib terhadap negara, dan wajib terhadap Tuhan, di mana wajib lebih diutamakan dahulu dari pada hak, sehingga kemudian terwujud harmoni antara hak dan kewajiban (Sila ke-5) (Dwi Siswoyo, 2013).

Tantangan yang dihadapi dalam membangun karakter bangsa adalah bencana moral yang melanda bangsa kita. Prof. Dr. T. Jacob, mengemukakan bahwa negeri kita dilanda bencana moral yang kita buat sendiri, yaitu antara lain: diterpa banjir korupsi, erosi dan longsornya etika, kebakaran disiplin, gempa adat istiadat, ledakan kerusuhan dan letusan emosi primer yang erat terkait pada egoisma dan survival, badai kejahatan, kemarau iman, hama narkotik dan wabah suap. Kegagalan pendidikan dengan dramatis dipamerkan oleh anggota-anggota badan perwakilan kita, yang nyata terlihat bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai (Harian KR, 5 Februari 2004).

Sebuah lembaga pendidikan tinggi layak disebut perguruan tinggi (PT) karena “mendewasakan pribadi” mahasiswanya sebagai manusia dan warga negara. Pendidikan tinggi yang hanya mempersiapkan mahasiswanya mencari pekerjaan, tidak layak disebut PT karena tidak pernah sempat memperhatikan nilai-nilai yang menentukan bobot seorang manusia dan seorang warga negara (J. Drost SJ, 1999).

Jean Paul Sartre (1973): Man is nothing else but what he makes of himself. Such is the first principle of existensialism. Atau apa yang disampaikan oleh Bung Karno: Guru tidak bisa memberikan apa yang ia ketahui, guru juga tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan, guru hanya bisa memberikan apa yang ia miliki (Sukarno, 1961). Jadi guru harus senantiasa menjadi teladan bagi subjek didik dan masyarakatnya.

Krisis pendidikan yang menggejala pada dekade-dekade akhir-akhir ini adalah terpinggirkannya pembentukan karakter, akhlak, moral, budi pekerti, sehingga pada gilirannya, pendidikan  baru menghasilkan anak yang pintar tetapi belum berkarakter. Inilah salah sumber bencana moral dalam kehidupan bangsa kita, sehingga sendi-sendi kehidupan bangsa seakan runtuh ditimpa maraknya kasus korupsi, manipulasi, dan penyelewengan-penyelewengan serta penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai moral lain. Inilah yang merupakan salah satu kegagalan pendidikan di negeri ini.

Dalam tulisan artikel ini, penulis bertujuan mengevaluasi apakah  krisis pendidikan diatas dapat di dikurangi atau tidak, dengan adanya penetapan pelaksanaan Pendidikan Karakter, yang berlangsung didalam perjalanan penyempurnaan Kurikulum Pendidikan yang diberlakukan di Indonesia secara periodik pergantian kepemimpinan Kemendikbud Ristek.

Program pendidikan yang secara arif dapat dimuarakan kepada pembentukan kepribadian dan kemampuan/keahlian calon guru dalam kesatuan organis, harmonis dan dinamis. Kurikulum sebagai alat pendidikan, tidak dapat dilepaskan  dari hakikat pendidikan itu sendiri. Yangmana Pendidikan adalah dialog bukan monolog, sebab kalau monolog adalah indoktrinasi. Dan Pendidikan atau edukasi adalah dialog antar subjek pendidikan dalam menghadapi realitas dalam mencapai fusi horizon makna.

Karakter merupakan puncak dari 4 dimensi terakhir hasil belajar seseorang, Setelah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Sedangkan Karakter Bangsa adalah cerminan sikap dalam bentuk watak/perilaku konsisten yang secara kolektif muncul dari kumpulan komunal ras atau bangsa. Karakter yang dimiliki dan diwujudkan oleh suatu bangsa, menjadi ciri kepribadian suatu bangsa tersebut.

Secara teori bahwa “karakter adalah suatu hasil belajar seseorang yang tidak bisa diajarkan secara langsung melainkan diteladankan dan membutuhkan suatu proses waktu yang lama, tercukupkan bahwa   keteladanan sebagai kata kunci keberhasilan Pendidikan Karakter. Keteladanan sangat tercermin dari apa yang sedang terjadi dan berlangsung di lingkungan sekitar secara real, nyata, dan terdekat, termasuk juga di sekolah, keluarga dan Masyarakat, termasuk media massa.

Keteladanan yang ditunjukkan di sekolah tidak cukup otentik untuk menggambarkan sifat, watak dan kepribadian  yang dimiliki oleh peserta didik, termasuk guru dan kepemimpinan yang terjadi di sekolah, dan menjadi lengkap apabila hadir bersamanya Tri Pusat Pendidikan lain, yaitu Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Keteladanan otentik itu terjadi di ruang-ruang alami kehidupan, misalnya keluarga dan masyarakat termasuk lingkungan dari bidang-bidang pekerjaan atau organisasi pemerintahan termasuk sekolah.

Karakter dapat dipahami menjadi dua kelompok besar yakni, karakter moral dan karakter kinerja. Karakter Moral dari  visi Pendidikan Indonesia termaktub didalamnya adalah karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia. Sedangkan Karakter Kinerja dituliskan di dalamnya yaitu bernalar kritis, kreatif, mandiri, bergotong royong, dan berkebinekaan global.

Karakter Moral akan tumbuh berkembang dalam lingkungan yang menghargai dan menghormati nilai moralitas sebagai dasar-dasar kebenaran universal yang wujudkan, dalam praktik kehidupan sehari-hari yang telah terhabituasi/menjadi kebiasaan. Dari berkembangnya karakter moral akan berdampak imbasnya juga pada berkembangnya karakter kinerja seseorang.  Karakter kinerja ditunjukkan dengan perilaku kinerja yang sempurna, akan turun dalam bentuk praktik etika spesifik di suatu bidang ilmu dan pekerjaan atau profesi.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis dan pemberian saran solusi terhadap “Keberhasilan Pendidikan Karakter dari perjalanan penyempurnaan Kurikulum Pendidikan di Indonesia”.  Analisis ini dikembangkan dari logika berpikir yang dibangun oleh prespektif pribadi dengan  mengikuti alur  sederhana yang mudah dipahami yaitu:

Pertama, Dengan melihat sejarahnya terlebih dahulu, kapan peraturan     perundangan ditetapkan dan diputuskan. Kedua, Mendeskripsikan faktor pendukung atau penguat dan faktor penghambat keberhasilan Pendidikan Karakter yang diberlakukan pada setiap era penyempurnaan dan atau pergantian Kurikulum  Pendidikan tertentu dilaksanakan. Ketiga, Mengevaluasi faktor pendukung dan penghambat keberhasilan penerapan Pendidikan Karakter pada masa kurikulum Pendidikan di Indonesia yang di berlakukan. Sehingga diperoleh gambaran hasil dari penerapan kurikulum yang telah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.

Periode Pertama; sejarah peraturan perundangan diberlakukannya Pendidikan Karakter dikelompokkan menjadi 3 periode pertama, kedua dan ketiga. Periode pertama; dimulai Tahun 2010, sejak  dengan diterbitkan  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010 – 2014. Pedoman petunjuk pelaksanaannya diterbitkan tahun 2011.

Periode kedua; Salah satu rujukan penting yang merupakan kebijakan pemerintah adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018. Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal. Pedoman petunjuk pelaksanaannya diterbitkan tahun 2011.

Periode Ketiga; diterbitkannya beberapa peraturan perundangan dalam perjalanannya sampai pada Pedoman Penerapan Kurikulum Merdeka dengan Penetapan Profil Pelajar Pancasila dan Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). 1). Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus. 2). Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 56/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum Dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran Ditetapkan Di Jakarta Pada Tanggal 10 Februari 2022. 3). Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 262/M/2022 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 56/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum Dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran Pada Tanggal 22 Juni 2022. Untuk pelaksanaan penerapan P5 juga dilengkapi dengan buku pedoman pelaksanannya.

Dari 3 Periode Penetapan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Indonesia, terjadi perbedaan Kurikulum Pendidikan yang ditetapkan dan yang dijalankan, yaitu Kurikulum Pendidikan Berbasis Kompetensi (KBK): Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2007), Kurikulum 2013 dan terakhir Kurikulum Merdeka Tahun 2022.

Kedua; mendeskripsikan faktor-faktor utama pendukung (penguat) dan faktor penghambat keberhasilan Pendidikan Karakter, yang diberlakukan pada setiap era penyempurnaan dan atau pergantian Kurikulum Pendidikan yang ditetapkan di Indonesia, antara lain:

Faktor pendukung keberhasilan Pendidikan Karakter yang ditemukan adalah berasal dari kuatnya pengaruh nilai internal asli  masyarakat Indonesia sendiri, yang bersifat potensi bahwa: nilai asli dari Masyarakat Indonesia sendiri yang ada sudah sejak awal memiliki landasan 4 pilar bangsa, yakni PBNU; Pancasila sebagai asas dasar berbangsa dan bernegara, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, yang berfungsi sebagai pemandu dan kontrol moral berbasis spiritualitas dan religi yang kuat sudah menjadi pedoman hidup sehari-hari, sehingga keberhasilan Pendidikan karakter dapat dilaksanakan memiliki dampak pada prilaku karakter watak manusia Indonesia yang baik dapat terus terjaga dan selalu hidup menghasilkan kebahagiaan hidup yang tentram dan damai.

Faktor penghambat keberhasilan Pendidikan Karakter yang ditemukan adalah berasal dari kuatnya pengaruh eksternal yang bersifat potensi dari adanya pergaulan masyarakat Indonesia secara Global yang disebut Globalisasi dan kemajuan IPTEKS, sehingga pergeseran nilai-nilai moralitas semakin kuat dan beralih kepada orientasi kehidupan yang lebih mencintai dunia, materialistik, hedonis, permisif terhadap nilai moral dan agama. Sehingga tindakan penyimpangan: asusila amoral dan pelanggaran hukum, semisal korupsi, jual beli keputusan hukum, mafia kasus dan lainnya yang muncul menjadi semakin tinggi secara kuantitas dan kuantitasnya terjadi di masyarakat, menghasilkan kekacauan hidup, ketidaktentraman, ketidakteraturan, konflik dan perselisihan, yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan hidup bermasyarakat.

Setelah faktor potensial diketahui secara internal dan eksternal, dilanjutkan dengan faktor aktual dari proses pelaksanaan Pendidikan Karakter yang berlangsung pada 3 periode tersebut berbeda-beda, bergantung pada kebijakan yang dilakukan pada setiap era penyempurnaan dan atau pergantian Kurikulum Pendidikan yang ditetapkan di Indonesia, antara lain meliputi waktu, kondisi problematik Masyarakat yang sedang dihadapi, iklim politik, trend budaya dan lain sebagainya, yang sangat menentukan keberhasilan Pendidikan karakter berdampak pada perubahan perilaku Masyarakat.

Ketiga mengevaluasi faktor pendukung dan penghambat keberhasilan penerapan Pendidikan Karakter pada masa kurikulum Pendidikan di Indonesia yang diberlakukan. Dari hasil evaluasi sukses atau gagalnya suatu penerapan Pendidikan Karakter pada saat Kurikulum Pendidikan tertentu itu, telah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan, diperlukan tolok ukur keberhasilan Pendidikan Karakter.

Tolok ukur evaluasi hasil dari pelaksanaan Pendidikan Karakter sesuai klasifikasi  diatas dapat dibagi menjadi dua, yaitu Karakter Moral dan Karakter Kinerja berbeda cara mengukurnya. Karakter Moral diukur dengan cara melihat realitas sosial yang terjadi tidak hanya pada subjek hasil didikannya saja, karena tidak bisa diamati dalam tempo yang cepat, akan tetapi sampai pada sejauh mana perilaku kolektif karakter moral yang baik, dari anggota masyarakat dalam suatu bangsa dan negara dapat dipengaruhi, diwujudkan, diekspresikan dan ditampilkan.

Dari parameter perwujudan perilaku kolektif berahlak mulia yang ada dan terjadi di masyarakat, dapat dilakukan penilaian status bahwa kondisi perilaku karakter moralnya telah memiliki tingkat derajat yang tinggi atau rendah, atas dasar keimanan ketaqwaan kepada Tuhan YME dan akhlak mulia, serta integritas yang dimiliki.

Karakter kinerja diukur juga tidak hanya dari hasil subjek didikannya saja, tetapi juga dari kondisi realitas sosial masyarakat secara umum, telah menampilkan kemampuan perilaku kinerja bernalar kritis, kreatif, bergotong royong dan berkebinnekaan global, sudah terwujud atau belum? dengan menggunakan parameter pengukuran standar nilai universal yang dipilih atau yang disepakati.

Dari tolok ukur atau parameter yang sudah ditetapkan, selanjutnya bagaimana hasil Pendidikan Karakter yang muncul dan terjadi di Masyarakat tersebut dilakukan penilaian. Jika realitas sosial masyarakat masih menunjukkan prilaku karakter moral yang rendah dan karakter kinerja yang rendah, maka dengan sangat tegas dikatakan bahwa keberhasilan Pendidikan tidak tercapai alias gagal. Berlaku sebaliknya Jika realitas sosial masyarakat masih menunjukkan prilaku karakter moral yang tinggi dan karakter kinerja yang tinggi, maka dikatakan bahwa keberhasilan Pendidikan karakter dapat mencapai hasil yang diharapkan alias sukses.

Sebagai bangsa yang kaya akan budayanya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan karakter yang baik. Sopan santun, menghargai antar sesama, gotong royong, toleransi dan lain sebagainya merupakan beberapa contoh yang melekat pada jati diri bangsa Indonesia sejak dahulu. Namun perkembangan zaman yang semakin pesat, pertumbuhan teknologi digital, dunia memasuki sebuah era yang disebut Industri 4.0 karakter bangsa Indonesia semakin menurun.

Upaya perbaikan untuk memperoleh keberhasilan Pendidikan karakter yang dilakukan dikelas yang secara teori adalah 30% dengan Pendidikan karakter yang dibangun disekolah, dan 70% diluar sekolah, tampaknya pengaruh dan dampaknya masih sangat lemah, apalagi faktor luar diluar jam sekolah pengaruh penggunaan alat HP/gawai oleh peserta didik yang tidak bijak sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter siswa yang dibangun disekolah menjadi turun (down great).

Masih ada harapan yang selalu ditanamkan lebih baik, untuk keberhasilan proses Pendidikan Karakter dapat membangun karakter bangsa menjadi lebih baik, jika pelaksanaan pembentukan karakter P3 dan P5 dari Kurikulum Merdeka ini dilakukan tidak hanya dilaksanakan dikelas tetapi juga di luar kelas, apalagi dengan dihasilkannya guru-guru dari Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang dengan penuh semangat dan konsisten oleh Guru-guru serta semua elemen terkait dari bangsa Indonesia akan berdampak pada keberhasilan pembentukan karakter positif dari Profil Pelajar Pancasila.

Saran yang direkomendasikan oleh penulis masih sangat klasik yakni:

1). Programkan “Gerakan Keteladanan Nasional dan Gerakan Pertaubatan Nasional” untuk dapat berperilaku hidup sederhana dan dalam menaati Peraturan Perundang-undangan, Norma, Susila, Etika Moral Agama, sebagai kata kunci utama. Bagaimana pelaksanaanya, idealnya yaitu seharusnya TOP Down dari pemimpin tertinggi bangsa, dengan dukungan secara Bottom UP dari tokoh-tokoh agama dan atau anggota masyarakat. Walau program tersebut, juga sudah dicanangkan sebelumnya oleh pemimpin kita, dengan semangat revolusi mental kemudian ada lain yang menyebut Revolusi Ahlak, dari dua program tersebut bagaimana hasilnya saat ini yang bisa dirasakan, lagi-lagi sepertinya lebih kepada slogan yang besar tapi sedikit implementasinya dilapangan.

2). Membutuhkan integrasi yang tepat untuk memformulasikan pemberian pendidikan Spiritualitas yang lebih tinggi di atas sekedar Religiuitas, dengan pelaksanaan praktik pendidikan keahlian formal.   “For the sake of education we need religion and for the sake of religion we need education : the two are fundamentally inseparable”. (John F. Gardner,1973).

3). Komitmen dan konsistensi yang tinggi harus dijunjung tinggi oleh semua warga bangsa dan negara, sebagai nilai yang harus terus diperjuangkan dalam kerangka pelaksanaan Pendidikan karakter untuk dapat mencapai keberhasilan Pendidikan Karakter di Indonesia yang idamkan.

Referensi:

Penulis Adalah : Mahasiswa S3 Tekhnologi Pendidikan, FIP UNESA

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button