Merubah Stigma Disabilitas
Oleh : Rizka Kurniawan
Penyandang Disabilitas menurut UU No. 8 Tahun 2016, adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dalam undang-undang tersebut juga diatur hak penyandang disabilitas, diantaranya di pasal 7, bahwa disabilitas mempunyai Hak untuk bebas dari stigma yang meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya.
Selama ini Penyandang disabilitas selalu dilekatkan dengan stigma sebagai orang yang tak berdaya, tidak sehat dan tak mampu melakukan aktivitasnya sehari-hari. Tidak hanya itu, penyandang disabilitas kerap mendapatkan tindakan marjinalisasi atau tindakan pengucilan, perbedaan perlakuan kepada penyandang disabilitas juga terjadi di banyak sektor, seperti di sektor pendidikan dan pekerjaan. Bahkan isu kekerasan, baik itu secara fisik maupun psikis juga menjadi tantangan bagi penyandang disabilitas.
Padahal indonesia telah meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabillities, pada 2011 yang secara tegas menempatkan disabilitas sebagai subyek bukan sebagai objek. Melalui ratifikasi ini ingin merubah paradigma dan cara pandang terhadap disabilitas yang lebih mengedepankan pendekatan aktif disabilitas sebagai pelaku dalam pembangunan.
Merujuk pada data disabilitas Bojonegoro, sebanyak 8.567 orang (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dengan berbagai macam klasifikasi disabilitas, pendekatan terhadap penyandang disabilitas, maka bisa dipilah berdasarkan klasifikasinya disabilitas berat, sedang dan disabilitas ringan.
Adapun penyandang disabilitas berat, adalah mereka yang hidupnya tergantung dari pihak lain, pada kelompok ini pendekatan bantuan sosial sangat diperlukan dan edukasi ke keluarga, sehingga disabilitas tidak dianggap sebagai beban.
Lalu untuk disabilitas sedang dibutuhkan penyediaan fasilitas publik yang ramah dan aksesbilitas bagi disabilitas sangat diperlukan. Kemudian pada kelompok disbilitas ringan dibutuhkan pendekatan pemberdayaan menjadi sangat penting, banyak potensi yang bisa dioptimalkan, akses terhadap pekerjaan dan pelatihan kerja harus dijamin oleh pemerintah.
Kabupaten Bojonegoro sendiri sudah mensyahkan Perda Nomor. 2 Tahun 2021. Tentang Penyelenggaraan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dengan adanya Perda tersebut, Penyandang Disabilitas kedepan diharapkan mendapat tempat di masyarakat, juga pelibatan dalam segala pengambilan keputusan ditingkat desa dan daerah, serta pelibatan aktif dalam aktifitas sosial, dan dalam kehidupan sehari-hari menjadi sebuah keharusan, sehingga tidak ada lagi diskiriminasi yang disadari atau tidak selama ini memang ada. Hak-hak mereka sebagai manusia tidak diabaikan lagi.
Karena itu, harus disadari bahwa dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan, maupun pelibatan aktif organisasi- organisasi disabilitas dalam hal pengambilan keputisan harus secara masif dan komprehensif.
Utamanya pelibatan aktif organisasi – organisasi disabilitas di Bojonegoro, yang diantaranya ada PDKB (Persatuan Disabilitas Kabupaten Bojonegoro), lalu PPDI (Persatuan Pentandang Disabilitas Indonesia), kemudian ada PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia), serta GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia).
Penulis berharap, semoga melalui Perda Nomor 2 Tahun 2021 – Tentang Penyelenggaraan Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini, mampu memberikan angin segar bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Bojonegoro untuk saluran memperjuangkan hak-haknya.. Merdekaaa…!!!
Penulis Adalah : Alumni GMNI dan Pegiat SIKAS NUSANTARA.